Potret hitam mahasiswa |
Seorang mahasiswa seharusnya mampu memikirkan apa yang sudah sepantasnya ia lakukan layaknya mahasiswa. Mahasiswa yang menjadi panutan masyarakat nampaknya sudah tidak mampu mempertahankan identitasnya sebagai mahasiswa. Asumsi masyarakat yang menganggap mahasiswa adalah kaum intelektual sejati ternyata salah. Sebagian dari kalangan mereka tak lain adalah kaum muda yang tidak tahu apa-apa.
Sejak lahirnya masa orde baru hingga saat ini, banyak bermunculan opini – opini negatif masyarakat tentang keberadaan mahasiswa. Beranjak dari habitat mereka yang sebagian besar berasal dari pedesaan sampai mereka yang berada di kota - kota besar. Mereka sengaja bermigrasi dari desa kota untuk meraih gelar sarjana. Mereka tak peduli berapa banyak isi dompet yang harus terkuras demi sebuah pendidikan. Bagi masyarakat awam, hal ini merupakan suatu tindakan yang menambah berat beban keluarga. Belum tentu mereka semua akan menjadi orang sukses, sehingga dapat mengganti jumlah biaya yang telah dikeluarkan sebelumnya.
Berbagai opini negatif masyarakat muncul bukan tanpa alasan. Lihat saja fenomena – fenomena yang terjadi di kalangan mahasiswa saat ini. Tak jarang dari mereka melakukan penyimpangan – penyimpangan yang mereka anggap biasa. Dari mulai tindakan minus kecil hingga tindakan minus besar yang kesemuanya berakibat fatal bagi diri mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa yang kurang beruntung di ibu kota berpindah haluan dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah mahasiswa yang di Drop Out karena tidak punya biaya untuk melanjutkan pendidikan. Mereka terpaksa beralih fungsi menjadi buruh atau pekerja keras untuk menghidupi dirinya di ibu kota tanpa memberi kabar kepada sanak –saudara mereka di desa. Terbayangkan oleh kita bahwa sanak saudara yang sudah lama menanti menganggap diri mereka telah sukses dan mendapat gelar sarjana di sana. Padahal, kenyataannya sangat berbeda.
Sejak lahirnya masa orde baru hingga saat ini, banyak bermunculan opini – opini negatif masyarakat tentang keberadaan mahasiswa. Beranjak dari habitat mereka yang sebagian besar berasal dari pedesaan sampai mereka yang berada di kota - kota besar. Mereka sengaja bermigrasi dari desa kota untuk meraih gelar sarjana. Mereka tak peduli berapa banyak isi dompet yang harus terkuras demi sebuah pendidikan. Bagi masyarakat awam, hal ini merupakan suatu tindakan yang menambah berat beban keluarga. Belum tentu mereka semua akan menjadi orang sukses, sehingga dapat mengganti jumlah biaya yang telah dikeluarkan sebelumnya.
Berbagai opini negatif masyarakat muncul bukan tanpa alasan. Lihat saja fenomena – fenomena yang terjadi di kalangan mahasiswa saat ini. Tak jarang dari mereka melakukan penyimpangan – penyimpangan yang mereka anggap biasa. Dari mulai tindakan minus kecil hingga tindakan minus besar yang kesemuanya berakibat fatal bagi diri mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa yang kurang beruntung di ibu kota berpindah haluan dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah mahasiswa yang di Drop Out karena tidak punya biaya untuk melanjutkan pendidikan. Mereka terpaksa beralih fungsi menjadi buruh atau pekerja keras untuk menghidupi dirinya di ibu kota tanpa memberi kabar kepada sanak –saudara mereka di desa. Terbayangkan oleh kita bahwa sanak saudara yang sudah lama menanti menganggap diri mereka telah sukses dan mendapat gelar sarjana di sana. Padahal, kenyataannya sangat berbeda.
Lain lagi bagi mahasiswa yang tergolong mampu. Mereka terlihat santai tanpa memikirkan beban biaya yang ada. Mereka datang dan pergi ke kampus sesuka hati. Di saat menjelang ujian, dengan santainya mereka keluarkan isi dompet untuk menyuap sang dosen demi meraih sebuah nilai tanpa belajar.
Potret mahasiswa yang salah menggunakan biaya semester dari orang tua juga tak kalah hebatnya. Uang yang seharusnya mereka bayar untuk memenuhi biaya semester ataupun biaya lainnya sengaja mereka gunakan untuk kepentingan-kepentingan lain yang tidak berarti. Mereka menggunakan biaya semester hanya untuk berfoya – foya tanpa mereka sadar dampak yang akan di timbulkan dari perbuatan mereka itu. Setiba masa penagihan biaya, mereka bingung untuk mencari uang pinjaman. Nampaknya, meminta uang kepada orang tua sudah tak mungkin lagi, ingin kerja belum punya potensi. Akhirnya mereka terpaksa menggadaikan barang – barang yang mereka punya demi melunasi biaya kampus yang harus mereka bayar tiap tahunnya.
Potret mahasiswa yang salah menggunakan biaya semester dari orang tua juga tak kalah hebatnya. Uang yang seharusnya mereka bayar untuk memenuhi biaya semester ataupun biaya lainnya sengaja mereka gunakan untuk kepentingan-kepentingan lain yang tidak berarti. Mereka menggunakan biaya semester hanya untuk berfoya – foya tanpa mereka sadar dampak yang akan di timbulkan dari perbuatan mereka itu. Setiba masa penagihan biaya, mereka bingung untuk mencari uang pinjaman. Nampaknya, meminta uang kepada orang tua sudah tak mungkin lagi, ingin kerja belum punya potensi. Akhirnya mereka terpaksa menggadaikan barang – barang yang mereka punya demi melunasi biaya kampus yang harus mereka bayar tiap tahunnya.
Mahasiswa yang seharusnya datang kekampus menimba ilmu, malah lebih senang duduk-duduk di kantin bersama teman-teman se-ganknya. Entah apa yang sedangmereka bahas hingga betah berjam-jam duduk diam di kantin tanpa memperdulikan mata kuliah yang seharusnya mereka dapatkan didalam lokal.
Banyaknya mahasiswa yang benci terhadap buku-buku pelajaran membuat prioritas mutu mahasiswa kini semakin rendah. Mereka lebih senang mengcopy paste dari situs-situs internet daripada mencari sumber dari buku-buku perpustakaan. Bagi mereka, berlama – lama membaca buku hanya membuang-buang waktu saja. Tidak seperti dari akses internet yang super cepat, praktis dan murah.
Banyaknya mahasiswa yang benci terhadap buku-buku pelajaran membuat prioritas mutu mahasiswa kini semakin rendah. Mereka lebih senang mengcopy paste dari situs-situs internet daripada mencari sumber dari buku-buku perpustakaan. Bagi mereka, berlama – lama membaca buku hanya membuang-buang waktu saja. Tidak seperti dari akses internet yang super cepat, praktis dan murah.
Di sisi lain, mereka yang dipercayakan sebagai anggota BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) banyak yang menyalah gunakan jabatan mereka sebagai raja kampus.Merekasebagai kaum intelektual yang mempunyai jiwa kritisme tinggi memanfaatkan posisi mereka untuk mengelabuhi para dosen. Hingga dosen tak sungkan-sungkan mengeluarkan alokasi dana untuk mereka tanpa tahu kemana alokasi dana itu dipergunakan.
Mahasiswa vs Polisi |
Para aktivis mahasiswa yang menjadi contoh teladan bagi orang–orang sekitarnya malah menjadi sosok sadis yang di takuti para dosen dan mahasiswa lainnya. Mereka tidak peduli kegiatan belajar yang sedang berlangsung di kampus. Yang ada di pikiran mereka hanyalah bagaimana caranya agar tetap axis dalam dunia organisasi dengan mengadakan gebrakan – gebrakan di setiap permasalahan yang muncul baik dalam kalangan kampus, sosial maupun di instansi pemerintahan.
Lebih parahnya lagi adalah mahasiswa yang sering kedapatan melakukan tindakan kriminal. Mereka tak sadar hal demikian dapat merusak image personality diri mereka sebagai mahasiswa. Mereka lupa akan tanggung jawabnya sebagai mahasiswa yang menjadi panutan bagi masyarakat sekitar.
Sudah jelas kenyataannya bahwa mereka yang mendapat julukan sebagai mahasiswa sangat bertolak belakang dari arti mahasiswa itu sendiri. Tri Dharma Perguruan Tinggi yang seharusnya mereka junjung tinggi kedudukannya sudah tidak mereka hirauakan lagi. Mungkin, hanya dengan mendapat gelar sarjana dengan priorirtas nilai A itu sudah cukup, tanpa memikirkan apa yang harus mereka lakukan sebagai mahasiswa.
Melihat fenomena seperti diatas, sudah seharusnya kita selaku mahasiswa bersama – sama mencetak jati diri mahasiswa yang sebenarnya dengan menyadarkan masing – masing individu akan tugas dan fungsi kita sebagai mahasiswa. Jangan sampai opini negatif masyarakat mengenai keberadaan mahasiswa semakin memburuk dan merusak citra diri mahasiswa negeri ini.
Lebih parahnya lagi adalah mahasiswa yang sering kedapatan melakukan tindakan kriminal. Mereka tak sadar hal demikian dapat merusak image personality diri mereka sebagai mahasiswa. Mereka lupa akan tanggung jawabnya sebagai mahasiswa yang menjadi panutan bagi masyarakat sekitar.
Sudah jelas kenyataannya bahwa mereka yang mendapat julukan sebagai mahasiswa sangat bertolak belakang dari arti mahasiswa itu sendiri. Tri Dharma Perguruan Tinggi yang seharusnya mereka junjung tinggi kedudukannya sudah tidak mereka hirauakan lagi. Mungkin, hanya dengan mendapat gelar sarjana dengan priorirtas nilai A itu sudah cukup, tanpa memikirkan apa yang harus mereka lakukan sebagai mahasiswa.
Melihat fenomena seperti diatas, sudah seharusnya kita selaku mahasiswa bersama – sama mencetak jati diri mahasiswa yang sebenarnya dengan menyadarkan masing – masing individu akan tugas dan fungsi kita sebagai mahasiswa. Jangan sampai opini negatif masyarakat mengenai keberadaan mahasiswa semakin memburuk dan merusak citra diri mahasiswa negeri ini.
written by : Ina Maharani Hasibuan
( Suara Mahasiswa Pergerakan )
( Suara Mahasiswa Pergerakan )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar